PENERAPAN PRINSIP KEADAAN KAHAR DALAM HUKUM INDONESIA


Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah memberikan dampak yang tidak sedikit bagi setiap dunia sekarang ini, tidak terkecuali bagi para pelaku bisnis, pemberi kerja, pekerja, pengusaha, usaha kecil menengah (UKM) di Indonesia. Terlebih setelah Pemerintah Indonesia menerbitkan Keputusan Presiden No.12 Tahun 2020 yang menetapkan penyebaran Covid-19 sebagai bencana non-alam dengan skala nasional, dan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Dengan adanya bencana non alam ini dan PSBB yang diterapkan oleh berberapa pemerintah daerah, dunia usaha mengalami goncangan yang cukup parah. Mulai dari pengurangan karyawan, efisiensi biaya operasi, penundaan pelaksanaan pekerjaan sampai yang paling parah adalah pengakhiran/ pemutusan perjanjian atau penutupan usaha.

Di tengah upaya masing-masing pihak untuk bertahan dengan usahanya atau pekerjaannya, saat ini banyak diperbincangkan istilah force majure atau keadaan kahar. Sebagian pihak menganggap bahwa pandemi Covid-19 merupakan keadaan kahar atau force majeure yang dapat mengakibatkan berakhirnya atau putusnya hubungan kontraktual. Namun, ada juga pihak yang berpandangan bahwa pandemi Covid-19 merupakan keadaan kahar yang bersifat relatif dan tidak serta merta berakibat pada berakhirnya hubungan kontraktual. Tulisan ini dibuat dengan maksud memberikan pengertian yang lebih mendalam terkait keadaan kahar, khususnya dari sudut pandang hukum khusunya bagaimana suatu keadaan kahar berdampak pada pelaksanaan perjanjian dalam hukum Indonesia.

Untuk mempermudah dalam membaca tulisan ini, penulis membagi pembahasan menjadi beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud keadaan Kahar atau Force Majeure?
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai keadaaan kahar atau force majeure, tulisan ini akan memaparkan terlebih dahulu mengenai pengertian keadaan kahar atau force majeure. Dalam Black’s Law Dictionary (“BLD”) dijelaskan bahwa istilah Force Majeure adalah kalimat yang berasal dari Perancis yang berarti superior force atau kekuatan yang lebih tinggi, adapun dalam BLD, Force Majeur didefinisikan sebagai “Kejadian yang tidak dapat diantisipasi ataupun dikendalikan, termasuk kejadian alam maupun kejadian akibat manusia.”[1]Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) keadaan kahar didefinisikan sebagai kejadian yang secara rasional tidak dapat diantisipasi atau dikendalikan oleh manusia. Berdasarkan uraian tersebut di atas, pada dasarnya istilah keadaan kahar maupun force majeure memiliki arti yang sama walaupun tidak identik. Baik keadaan kahar maupun force majeure diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak dapat diantisipasi dan dikendalikan.

2. Bagaimana penaturan keadaan kahar di Indonesia?
Dalam hukum Indonesia, khususnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), keadaan kahar dikenal dengan istilah keadaan memaksa atau keadaan di luar kendali para pihak. Setidaknya ada 4 pasal yang mengatur mengenai keadaan memaksa, yakni Pasal 1244, Pasal 1245, Pasal 1444 dan pasal 1445 yang menyatakan hal-hal sebagai berikut:

Pasal 1244 KUHPerdata
Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. Walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”

Pasal 1245 KUHPerdata
Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”

Pasal 1444 KUHPerdata
Jika barang tertentu yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada, atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkan suatu barang, yang sebelumnya tidak ditanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangan kreditur, seandainya barang tersebut
sudah diserahkan kepadanya
.

Debitur diwajibkan membuktikan kejadian tak terduga yang dikemukakannya.

Dengan cara bagaimanapun suatu barang hilang atau musnah, orang yang mengambil barangitu sekali-kali tidak bebas dari kewajiban untuk mengganti harga.”

Pasal 1445 KUHPerdata
Jika barang yang terutang musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang di luar kesalahan debitur, maka debitur, jika ia mempunyai hak atau tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak dan tuntutan tersebut kepada kreditur.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata tersebut, debitur dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi dan bunga kepada kreditur, apabila wanprestasi yang terjadi (baik karena debitur tidak melaksanakan prestasi atau melaksanakan suatu tindakan yang dilarang) (selanjutnya disebut sebagai “wanprestasi”), diakibatkan karena keadaan memaksa atau hal yang tidak terduga. Namun, secara khusus dalam Pasal 1244 KUHPerdata juga disebutkan bahwa keadaan memaksa atau hal tak terduga harus dapat dibuktikan oleh debitur dalam hubungannya dengan halangan bagi dirinya untuk melaksanakan perikatan. Selain kedua pasal tersebut, Pasal 1444 dan 1445 KUHPerdata, juga mengatur mengenai keadaan memaksa dengan kondisi musnahnya barang yang diperjanjikan di luar kesalahan debitur, yang berakibat bahwa debitur tidak dapat dimintakan tanggung jawab ganti kerugian sepanjang dapat dibuktikan kejadian tidak terduga tersebut. Terkait Pasal – Pasal tersebut di atas, para ahli hukum juga telah berpendapat terkait definisi keadaan kahar sebagai berikut:


a. R. Subekti, berpendapat bahwa keadaan kahar adalah keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga, dan mengakibatkan debitur tidak dapat berbuat apa-apa terhadap
keadaan yang timbul di luar dugaan tersebut, dan selain itu keadaan tersebut tidak dapat diketahui pada saat perjanjian dibuat[2], beliau juga menambahkan bahwa keadaan memaksa lebih tepat dilihat dari Pasal 1244 KUHPer, karena merupakan pembelaan debitur atas tuduhan kelalaian, dan beban pembuktian atas keadaan tersebut berada pada dibitur;


b. Menurut Purwahid Patrik, debitur tidak melaksanakan prestasi bukan karena kesalahan sehingga dikategorikan karena keadaan memaksa sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya[3].

c. Menurut J. Satrio, keadaan memaksa merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melakukan prestasi karena keadaan peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan pada debitursedang keadaan debitur tidak dalam keadaan buruk[4].

d. Rahmat Soemadipradja menyimpulkan bahwa Keadaan Kahar adalah salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya berdasarkan Perjanjian baik seluruhnya maupun sebagian, disebabkan oleh peristiwa di luar kendali pihak tersebut, yang tidak dapat diduga akan terjadi pada saat membuat perikatan.

e. Kusmadi dengan mendasarkan pada 2 (dua) ajaran yakni ajaran lama (overmacht objektif) dan ajaran baru (overmacht subjektif), adapun beliau berpendapat bahwa overmacht objektif  adalah setiap orang sama sekali tidak mungkin melaksanakan perikatan, sehingga dititikberatkan pada ketidakmungkinan (impossibility), sedangkan overmacht subjektif  tidak dipenuhinya perikatan adalah karena kesulitan(difficult)[5].

f. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Overmacht adalah keadaan yang mengakibatkan debitur tidak mungkin melakukan prestasi (absolut) atau debitur dapat melakukan prestasi, namun apabila dijalankan akan mengakibatkan kerugian yang besar bagi debitur (relatif)[6].

g. Johari Santoso dan Achmad Ali berpendapat bahwa keadaan kahar merupakan alasan pemaaf atas tidak terlaksananya perikatan oleh debitur, akibat terjadinya peristiwa di luar kendali debitur. Johari Santoso dan Achmad Ali juga membagi keadaan kahar menjadi 2 (dua), yakni overmacht absolut yakni prestasi sama sekali tidak dapat dilakukan dan overmacht relatif yakni prestasi masih mungkin dilakukan, namun akan mengakibatkan pengorbanan yang besar bagi debitur[7].

h. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa keadaan memaksa dalam hukum adalah keadaan yang menyebabkan bahwa suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak dapat dilaksanakan, keadaan memaksa ini dapat bersifat absolut apabila keadaan memaksa mengakibatkan suatu hak atau suatu kewajiban sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun juga atau relatif apabila keadaan memaksa mengakibatkan suatu hak atau suatu kewajiban meskipun masih memungkinkan untuk dilaksanakan, menjadi sukar dan membutuhkan pengorbanan yang besar sehingga sepatutnya hak atau kewajiban tersebut dianggap lenyap[8].

Selain ketentuan dalam KUHPerdata, Indonesia juga mengenal istilah hardship yang berasal dari common law system dan dirumuskan dalam UNIDROIT. Hal ini karena berdasarkan Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute Of The International Institute For The Unification Of Private Law, Indonesia telah menjadi anggota Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata), dan oleh karenanya prinsip-prinsip hukum perjanjian yang dirumuskan oleh lembaga ini, dapat diterapkan di Indonesia. Secara khusus dalam Pasal 6.2.2 dan Pasal 7.1.7 UNIDROIT Principle, diatur mengenai hardshipdan frustation of the contract.

Pasal 6.2.2 UNIDROIT mendefinisikan Hardshipsebagai suatu peristiwa yang secara fundamental telah mengubah keseimbangan perjanjian, karena biaya pelaksanaan perjanjian meningkat sangat tinggi, atau karena nilai pelaksanaan perjanjian bagi pihak yang menerima telah sangat menurun, dengan syarat[9]:

a. Pihak yang dirugikan mengetahui atau terjadi peristiwa itu setelah penutupan perjanjian (penandatanganan perjanjian);
b. Peristiwa itu tidak dapat diduga oleh pihak yang dirugikan pada saat penutupan perjanjian (penandatanganan perjanjian);
c. Terjadinya diluar kontrol dari pihak yang dirugikan;
d. Risiko dari peristiwa itu tidak dapat diperkirakan oleh pihak yang dirugikan.

Sedangkan dalam Pasal 7.1.7 UNIDROIT terkait Force Majeure terbatas pada mengakomodasi doktrin “Frustration” yakni keadaan yang mengakibatkan tujuan perjanjian tidak mungkin lagi tercapai meskipun para pihak masih mungkin melaksanakan prestasinya, dan doktrin “Impossibility” yakni keadaan yang mengakibatkan prestasi sama sekali tidak dapat dijalankan dari Common Law dan force majeure dalam Civil Law[10]


3. Apakah tempat dan waktu terjadinya situasi (yang dianggap sebagai keadaan kahar) mempengaruhi penentuan pembebasan debitur dari kewajiban membayar ganti rugi atau bunga karena keadaan kahar?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, maka perlu ditinjau Pasal 1244 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu pembelaan atas wanprestasi akibat keadaan kahar wajib dibuktikan oleh debitur. Adapun unsur-unsur yang perlu dipenuhi suatu peristiwa agar dapat dikategorikan sebagai keadaan kahar menurut Rahmat S. S. Soemadipradja adalah sebagai berikut[11]:

a. Merupakan peristiwa di luar kemauan, kemampuan atau kendali para pihak dalam perjanjian;
b. Mengakibatkan kerugian bagi para pihak atau salah satu pihak dalam perjanjian;
c. Menyebabkan suatu prestasi tertunda, terhambat, terhalang atau tidak dilaksanakan;
d. Para pihak telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk menghindari peristiwa tersebut; dan

e. Peristiwa tersebut sangat mempengaruhi pelaksanaan prestasi.


Berdasarkan yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI (“MARI”), juga terdapat beberapa putusan yang mengandung kaidah hukum terkait keadaan kahar, antara lain:

a. Putusan MARI No.409 K/Sip/1983: keadaan kahar terjadi tanpa adanya kelalaian debitur dan terjadi setelah pihak debitur menerima izin berlayar dari syahbandar;

b. Putusan MARI No. 24 K/Sip/1958: wanprestasi debitur tidak diakibatkan karena force majeure/ keadaan kahar, karena pada kenyataannya debitur masih mungkin  untuk melaksanakan kewajibannya walaupun dengan harga yang lebih mahal; 

c. Putusan MARI No. 558 K/Sip/1971: sekalipun barang yang diperdagangkan berdasarkan perjanjian telah musnah, namun harus dibuktikan bahwa musnahnya barang tersebut bukan karena kelalaian debitur.


Dalam putusan Mahkamah Agung RI tersebut di atas, diulas beberapa pertimbangan hukum yang menilai hubungan sebab akibat antara, waktu dan tempat terjadinya suatu keadaan keadaan kahar, dengan terhalangnya salah satu pihak untuk menjalankan kewajibannya berdasarkan perjanjian

Sebagai contoh keterkaitan waktu dengan penentuan keadaan kahar adalah sebagai berikut:

 tidak wajar apabila A mengklaim dirinya mengalami keadaan kahar karena pada tahun 2018 pabriknya digusur, apabila ternyata A telah menerima pemberitahuan     mengenai rencana penggusuran dari pejabat setempat sejak tahun 2014. Hal ini karena sewajarnya A mampu mengambil langkah antisipatif agar produksi pabriknya pada tahun 2018 tidak terdampak karena penggusuran; atau

 banjir di Propinsi Jakarta yang terjadi pada tahun 2015 tidak dapat dianggap sebagai keadaan kahar terhadap pelaksanaan perikatan tahun 2016.

Sebagai contoh keterkaitan tempat dengan penentuan keadaan kahar adalah sebagai berikut:

 tidak wajar apabila A mengklaim dirinya mengalami keadaan kahar karena pabriknya terkena banjir pada tahun 2018, sedangkan para pihak dalam perjanjian telah mengetahui bahwa lokasi pabrik A berada di daerah yang selalu terkena banjir. Hal ini karena sewajarnya A mampu mengambil langkah antisipatif agar produksi pabriknya pada tahun 2018 tidak terdampak karena banjir; atau

kebakaran hutan di Provinsi Riau tentu tidak dapat dianggap sebagai keadaan kahar terhadap pelaksanaan perikatan di Provinsi Jawa Barat.


Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelasa bahwa tempat dan waktu terjadinya situasi (yang dianggap sebagai keadaan kahar) mempengaruhi penentuan pembebasan debitur dari kewajiban membayar ganti rugi atau bunga karena keadaan kahar.


4. Siapakah yang berhak menentukan suatu kejadian sebagai keadaan kahar?

Mengingat keadaan kahar merupakan alasan pemaaf atas tidak terlaksananya suatu prestasi dalam pelaksanaan suatu perjanjian, maka yang berwenang menentukan suatu keadaan, termasuk keadaan kahar adalah kesepakatan para pihak dalam perjanjian itu sendiri. Hal ini didasarkan pada ketentuan yang dimuat dalam Pasal 1320 dan Pasal1338KUHPer sebagai berikut:


Pasal 1320 KUHPerdata:
“Untuk sahnya suatu Supaya terjadi perjanjian yang sah, perlu dipenuhi empat syarat diperlukan empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan hal tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang
.”


Pasal 1338 KUHPerdata:
Semua perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi merekayang membuatnya.

Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan
oleh undang-undangdinyatakan cukup untuk itu.

Suatu Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.


Karena, suatu perjanjian yang sah merupakan undang-undang yang mengikat bagi pihak yang membuatnya, maka para pihak juga lah yang dapat bersepakat untuk menentukan suatu peristiwa sebagai keadaan kahar. Kesepakatan mengenai keadaan kahar dapat ditentukan pada saat perjanjian ditandatangan, ataupun setelah perjanjian ditandatangani, yaitu dengan cara melakukan amendemen perjanjian guna menyepakati suatu peristiwa yang terjadi sebagai keadaan kahar. Lebih lanjut, dengan merujuk Pasal 1244KUHPer yang mengatur bahwa debitur (red: pihak terdampak) yang memiliki kewajiban untuk membuktikan keadaan kahar, namun tidak berarti saat diajukan pemberitahuan keadaan kahar maka wanprestasi pihak terdampak dimaafkan atau prestasi pihak terdampak menjadi hapus. Pemberitahuan keadaan kahar ini harus ditindaklanjuti dengan kesepakatan antara para pihak. Upaya mencapai kesepakatan ini tentunya harus dilandasi dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPer), karena tujuan dilaksanakannya suatu perjanjian adalah untuk kemanfaatan para pihak secara adil. Kesepakatan mengenai keadaan kahar ini umumnya diikuti dengan perubahan/ amendemen perjanjian, karena tentunya keadaan kahar akan mengubah kemampuan pihak terdampak dalam melaksanakan perjanjian sesuai dengan syarat dan ketentuan awal (sebelum terjadinya keadaan kahar). Bagaimana apabila para pihak tidak mencapai kesepakatan? Salah satu pihak dapat mengajukan permasalahan dimaksud kepada forum penyelesaian sengketa yang disepakati dalam perjanjian.


5. Apakah akibat terjadinya keadaan kahar?

Terkait akibat terjadinya keadaan kahar, Yahya Harahap berpendapat [12] bahwa dengan merujuk Pasal 1244 dan 1245 KUHPer, maka keadaan kahar mengakibatkan: 1) gugurnya kewajiban debitur mengganti rugi (schadevergoeding) dan 2) menggugurkan kewajiban debitur untuk berprestasi (nakoming). Lebih lanjut, Sri Soedewi Masjchoen Sofwan berpendapat bahwa [13], akibat keadaan kahar harus dilihat dari sifatnya dan tidak serta merta membuat perjanjian menjadi batal, apabila keadaan kahar bersifat sementara maka keadaan kahar hanya akan berakibat menangguhkan, sedangkan apabila sudah tidak bermanfaat lagi maka prestasi tersebut gugur. Sehingga dengan adanya teori keadaan kahar yang relatif, dalam hal ketentuan keadaan kahar belum diatur dalam perjanjian, para pihak dapat bernegosiasi dan membuat kesepakatan untuk menentukan kelanjutan perjanjian apakah akan menunda pelaksanaan atau akan mengakhiri perjanjian.

Terkait dengan akibat keadaan kahar dalam hukum Indonesia, apabila suatu perjanjian tidak mengatur secara detail mengenai akibat terjadinya keadaan kahar, maka yang berlaku adalah ketentuan dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku, khususnya Pasal 1244, 1245, 1444, dan 1445 KUHPer mengenai keadaan memaksa. Khusus mengenai Pasal 1244 dan 1245 dimana suatu keadaan memaksa tidak memusnahkan barang/prestasi yang diperjanjikan, maka tindak lanjut dari suatu keadaan kahar perlu dirujuk Pasal 1338 ayat (3) dan 1339KUHPer. Secara umum, akibat suatu pihak mengajukan klaim terjadinya keadaan kahar adalah sebagai berikut:

1. dirinya wajib membuktikan bahwa keadaan yang menghalanginya untuk melaksanakan kewajiban berdasarkan perjanjian, bukan merupakan akibat kesalahan atau kelalaiannya;
2. dirinya wajib membuktikan bahwa keadaan yang menghalanginya untuk melaksanakan kewajiban berdasarkan perjanjian, merupakan keadaan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan berada di luar kuasanya.
3. dirinya wajib membuktikan bahwa terdapat hubungan kausalitas antara peristiwa dengan prestasi debitur yang tertunda, terhalangi dan/ atau tidak terlaksana;
4. dalam hal prestasi masih mungkin dilaksanakan, namun pelaksanaan prestasi oleh dirinya akan mengakibatkan ketidakpraktisan atau hardship.
5. apabila para pihak telah bersepakat mengenai terjadinya suatu keadaan kahar, maka para pihak perlu bersepakat mengenai kelanjutan pelaksanaan perjanjian (d.h.i. apakah perjanjian akan ditangguhkan sementara sampai dengan berakhirnya keadaan kahar, atau para pihak sepakat mengakhiri perjanjian lebih awal); 


Sebagaimana disebutkan sebelumnya pada nomor 1 tulisan ini, mengenai UNIDROIT Principle, maka perlu juga dibahas ketentuan yang diatur dalam Pasal 6.2.3 ayat (1) dan Pasal 7.1.7 ayat (2) dan (3) UNIDROIT Principle 2010. Dalam Pasal 6.2.3 dinyatakan bahwa pihak yang terdampak suatu keadaan sulit (hardship) dapat mengajukan negosiasi kembali, namun bukan berarti permohonan negosiasi tersebut dapat menunda pelaksanaan kewajiban berdasarkan perjanjian, serta apabila para pihak tidak sepakat dalam proses negosiasi kembali maka para pihak dapat mengajukan kepada forum penyelesaian sengketa untuk memutuskan.

Sementara dalam Pasal 7.1.7, dijelaskan mengenai akibat terjadinya keadaan kahar/ force majeure, dimana pada intinya diatur bahwa setelah dapat dibuktikan bahwa suatu wanprestasi bukan merupakan akibat kelalaian atau kesalahan maka pihak terdampak dibebaskan dari kewajibannya berdasarkan perjanjian sepanjang jangka waktu terjadinya keadaan kahar/ force majeure, dengan tetap memperhatikan upaya yang wajar untuk menangani dampak keadaan kahar terhadap pelaksanaan perjanjian. Dalam pasal ini juga dinyatakan dengan jelas bahwa pasal ini tidak mencegah pihak manapun dalam perjanjian untuk menggunakan haknya mengakhiri perjanjian atau menunda pelaksanaan atau mengenakan bunga atas jumlah yang terhutang. Mengingat UNIDROIT Principle sangat dipengaruhi oleh common law system, maka akibat terjadinya keadaan kahar/ force majeure dikembalikan sepenuhnya pada ketentuan dalam perjanjian. Tentu hal ini berbeda, dengan yang berlaku di Indonesia sebagai civil law country yang memiliki kodifikasi hukum perdata, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Buku III mengenai perikatan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam hal terjadi keadaan kahar, para pihak dapat bersepakat untuk menentukan apakah suatu keadaan dapat dianggap sebagai keadaan kahar yang dapat menjadi membebaskan pihak terdampak dari klaim ganti kerugian yang ditimbulkan dari wanprestasi yang telah dilakukannya. Bagaimana apabila para pihak tidak mencapai kesepakatan? Salah satu pihak dapat mengajukan permasalahan dimaksud kepada forum penyelesaian sengketa yang disepakati dalam perjanjian.

Demikian tulisan ini dibuat agar dapat menjadi bahan diskusi lanjutan dalam memperkaya pengetahuan hukum di Indonesia




Sumber:

[1]Black’s Law Dictionary – Eighth Edition, Thomson West, USA, 2004, Hlm. 673
[2]Rahmat S. S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum Atas Keadaan Memaksa, NLRP, Jakarta, 2010, Hlm. 7
[3]Ibid, Hlm. 35.
[4]Ibid, Hlm. 37
[5]Ibid, Hlm. 32
[6]Ibid, Hlm. 8
[7]Ibid, Hlm. 37
[8]Mr. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, Cetakan Keempat, Penerbit Sumur Bandung, Bandung, 1962, Hlm. 54.
[9]Prof. Dr. Veronica Komalawat, S.H., M.H., Modul Penyusunan Kontrak Komersial, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Kampus Jakarta, 2012, Bag. Prinsip Kontrak Komersial Internasional, Hlm. 21
[10]Ibid, Bag. Prinsip Kontrak Komersial Internasional, Hlm. 23

[11]Ibid, Hlm. 77

[12]Ibid, Hlm. 50

[13]Ibid, Hlm. 48






Disclaimer: The information on this site is intended solely for the personal non-commercial use of the user who accepts full responsibility for its user. We do not guarantee of completeness and suitability with current situation. The information contained in this site is general in nature and should not be considered as legal advice. In all cases you should consult with professional legal advisor who familiar with your particular factual situation or contact us for advice concerning specific matters before making any decision.